Seorang teman, sebut saja namanya Bornok. Ia pria Batak yang baik. Beberapa tahun lalu ia menikah di Jawa, dengan gadis Jawa, dipestakan dengan menggunakan adat Jawa. karena keduanya sama-sama Katolik, maka sebelum pesta adat, mereka terlebih dahulu diberkati di Gereja.
Oh ya, keduanya sudah memiliki sepasang anak yang satu cowok ganteng dan satu lagi cewek cantik. Tentu saja, karena perkawinan mereka sudah berusia sepuluh tahun.
Pada awalnya, ayah-ibu Bornok tak terima anak sulungnya (siakkanganna) menikah dengan "boru sileban" (orang diluar Batak), apalagi dipestakan dengan adat sileban pula.
Nyatanya, Bornok yang asal Siantar itu tak pernah pulang. Boro-boro memperlihatkan cucunya, ia justru selalu takut untuk pulang. Untung saja, seiring waktu, sang ibu yang tadinya takt terima keadaan tersebut, datang sesekali ke Jawa melihat "pahompu panggoaran"-nya (cucu pertama dari anak pertama).
Lalu kutanya, "Nok, kenapa kau tak mau pulang? Apa kau tak rindu sama mamak sama bapak kau?"
Bornok hanya menjawab, "Kepengen sih pulang, sekalian memperkenalkan itomu (maksudnya, istrinya) kepada keluarga besar di kampung. Cuma, kata mamak dan bapak, kalau mau pulang sekalian saja "Mangadati" (meresemkian perkawinan secara adat Batak)."
"Loh, bagus tuh Nok. Bukannya keren banget lu pulang sekalian pesta. Masalahnya apa kok ditunda-tunda?" tanyaku iseng.
Bornok tertawa ringkih. Kalkulator di otaknya langsung menyala.
Sumber
Lusius Sinurat
"Pura-pura tak tahu nya lae soal pesta kita. Bisa lae bayangkan saya harus datang dari Jawa (Tengah) ke sumatera bersama keluarga saya, 1 istri, 2 anak, sepasang mertua. Ini baru soal ongkos.
Tak mungkin pula kita cuma sehari di kampung. Banyak ritual adat yang harus kita ikuti, mulai dari penyematan marga ke istriku oleh pihak hula-hula. Itu saja sudah harus acara makan-makan segala.
Pokoknya entah apa lagi lah itu. Masih ada beberapa acara yang aku tak ingat namanya, hingga terakhir pesta adat. Kuhitung-hitung, kalau cuma 100 jutaan bisa jadi tak cukup.
Itu makanya, sekarang aku kumpulin duit yang banyak dulu, biar bisa pulang sekaligus mar-pesta mangadati di kampung," kata Bornok dengan nada pusing.
Dengan perasaan sok tahu, saya menanggapi begini, "Ngapain pula kau pusingkan itu Nok. Basa do Tuhan i (Allah mahabaik). Lagi pula soal pesta adat tadi, enggak mestilah besar dan mengundang seluruh penduduk Sumatera Utara. Karena kau udah menikah dan punya anak, maka pestanya sederhana aja. Lagian semua itu kan soal simbolik aja"
"Mana bisa gitu lae. Macam tak tahu pula lae kalau halak hita (maksudnya orang Batak) itu suka pesta. Mereka tahunya kalau kita perantau ini banyak uang. Bagi halak hita, pesta perkawinan itu seringkali dikait-kaitkan dengan harga diri, soal status sosial pula. Mampuslah awak kalau gitu. Kerjaan awak, bukannya direktur pertamina. Cuma karyawan nya awak di Jawa ini."
"Loh bukannya kalau orang Batak itu mau pesta dibiayai bersama dengan keluarga pihak laki-laki? ' tanyaku.
"Biar lae tahu, kalau sesama Batak bertanya "Andigan do pesta i" (kapan menikah) itu harus dimaknai sebagai "Kapan kau mentraktir / membuat kami senang".
Terus, walaupun di mulut mereka selalu bilang, "Kalau soal uang itu gampanglah itu", tetapi sebetulnya hitung-hitungan ekonomis (distribusi uang masuk dan uang keluar) di pesat Batak itu sangatlah jelas," kata Bornok mengenai kerisauannya.
Menikah memang bukan hal mudah, apalagi Anda sebagai orang Batak. Selain mencari pasangan, Anda harus siap-siap mencari uang sebanyak mungkin untuk membiayai pesta. Memang tak dipaksakan harus mengadakan pesat besar. Tetapi, seperti kita ketahui, semua orang Batak tampaknya satu keluarga.
Sebegitu penting perkawinan dalam adat Batak. Selain untuk memperbanyak jumlah (godang anak dohot boru), juga karena perkawinan itu menyangkut ikatan sosial dari dua pihak keluarga, bukan melulu perkawinan dua orang.
Tak hanya di Batak, di banyak daerah lain di Indonesia, upacara adat tak perkawinan membutuhkan uang dengan jumlah yang amat besar. Teman saya yang Tionghoa, Manado, Sunda, Jawa, Padang, dst yang ada di Bandung bahkan rela ngutang sana, ngutang sini hanya karena ingin menikah di hotel besar.
Persoalannya apa yang teman-teman tadi lakukan seringkali hanya ambisi pribadi. Sebaliknya, bila Anda orang Batak, besar kecilnya pesat selalu erat terkait dengan gengsi keluarga.
Maka untuk menghibur diri sendiri, orang-orang Batak yang tak punya uang -- seperti teman dalam cerita di atas -- harus rela mengantri, mengumpulkan uang yang banuak dulu agar bisa "diadatkan" alias menginaugurasi perkawinannya seturut adat Batak yang melekat sebagai identitasnya.
Akhirnya inilah usulku ke Bornok, teman saya tadi.
"Sudah tak apa-apa. Jangan takut soal uang kalau mau mangadati. Karena sekarang acara mangadati pun sudah bisa lewat video Call. Yang penting jangan lupa isi kuota internet aja, karena saya sudah undang raja parhata (MC) dari sini, juga segala jenis ulos udah kupinjam.
Sekarang lae tinggal pilih, mau mengundang siapa. Oppung Pius Datubara, Menteri Ignatius Jonan, menteri kelautan atau siapa saja. Nati kita hubungi dan rekam ucapan selamat mereka.
Terus, soal mangulosi (memberi ulos) lae juga tidak usah kuatir, karena semua pihak Hula-hula, Boru dan Dongan Tubu sudah kita hubungi via video call juga.
Makanya, lae santai aja ya.... hahahaha...
#SaiNaAdongDo