Senin, 27 Maret 2017

Seorang Calon Gubsu Harus Punya Uang Rp147 Miliar

Muhri Fauzi Hafiz (ist/metro24jam.com)
Saya bukan penulis yang pandai mencari judul yang cocok untuk bisa menggambarkan kepada pembaca, namun mudah-mudahan judul di atas bisa mewakili isi opini ini. 

Tahun 2018, di Sumatera Utara (Sumut) akan berlangsung pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Salah satunya, Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) periode 2018-2023.

Saya katakan, pelaksanaan Pilkada ini berbeda dengan sebelumnya, karena selain akan ada Pilkada Bupati/Walikota, Pilkada serentak tahun 2018 di Sumatera Utara akan menjadi perhatian utama partai politik (parpol) di Jakarta. 

Saya sebut di Jakarta, karena keputusan siapa calon kepala daerah yang akan diusung, sepengetahuan saya, hal itu semua wewenang pengurus pusat partai atau Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Apalagi setelah tahun 2018, selanjutnya akan masuk tahun 2019 yang merupakan pesta demokrasi Pemilu. 

Terlepas dari latar belakang di atas, opini ini ingin memberikan gambaran kepada pembaca bahwa untuk menjadi calon kepala daerah bukanlah urusan yang mudah. Salah satunya adalah kemampuan keuangan yang benar-benar dimiliki. 

Ada lima kegiatan seorang calon kepala daerah, baik Gubernur/Bupati/Walikota yang membutuhkan kemampuan keuangan yang besar. 

Pertama, kegiatan pencitraan sebelum menjadi calon dari partai politik. Kedua, lobi dukungan partai politik. Ketiga, pembentukan tim pemenangan. Keempat, kampanye. Kelima, saksi. 

Untuk kegiatan pencitraan sebelum menjadi calon, seorang bakal calon Gubernur dapat mengeluarkan biaya puluhan miliar rupiah. Selain harus bermitra dengan media, baik cetak, elektronik maupun online, seorang bakal calon Gubernur juga harus turun ke daerah pemilihan dengan berbagai bentuk kegiatan yang mendekatkan dirinya kepada masyarakat. 

Jika asumsi untuk menang di Sumatera Utara dapat meraih 3 juta suara, dengan membagi sebarannya 60 persen di kota dan 40 persen di desa. Maka, untuk satu kegiatan sosial bertemu masyarakat dengan anggaran satu pemilik suara mendapatkan makan dan hadiah, asumsi biaya yang dikeluarkan sebesar Rp20 ribu. Jika asumsi target bertemu satu juta orang, maka seorang calon Gubernur harus punya uang sebesar Rp20 miliar. 

Pada Pilgub 2018 nanti, berdasarkan perolehan kursi di DPRD Provinsi Sumatera Utara, tidak ada partai politik yang dapat mengusung calon tanpa koalisi, artinya partai Golkar (17 kursi), PDIP (16), Demokrat (14), Gerindra (13), Hanura (10), PKS (9), PAN (6), Nasdem (5), PPP (4), PKB (3) dan PKPI (3), harus bergabung memenuhi ketentuan syarat untuk bisa mengajukan pasangan calon Gubernur dan Wakilnya. 

Proses lobi dan meminta dukungan partai politik bukanlah hal mudah, walaupun nyata dan memiliki parameter penilaian namun kegiatan ini bisa abstrak sulit ditebak. Pepatah klasik yang mengatakan, tidak ada makan siang gratis, menjadi bingkai proses ini. 

Meskipun hanya secarik kertas dukungan, namun, kabarnya bisa bernilai miliaran rupiah. Jika asumsinya satu kursi anggota DPRD Provinsi sebesar Rp350 juta, maka untuk 20 kursi, seorang calon Gubernur diperkirakan mengeluarkan biaya sebesar Rp7 miliar, dengan catatan keadaan ini berjalan normal, tidak abstrak dan didukung hasil survei yang baik. Jika tidak? Asumsi biaya lobi di atas bisa lebih besar tak terhingga. 

Pembentukan tim pemenangan adalah kegiatan bakal calon Gubernur yang sudah dimulai sebelum dirinya melewati tahapan-tahapan di atas. Namun, Saya ingin membahas yang lebih konkrit terkait setelah calon Gubernur mendapatkan dukungan partai politik untuk maju. 

Mengutip asumsi menang dengan meraih tiga juta suara, maka tim pemenangan yang dibentuk diperkirakan ada 30.000 orang. Asumsi ini muncul dengan harapan setiap orang di tim pemenangan mempengaruhi 100 orang di sekelilingnya untuk bisa menjadi pemilih pasangan calon Gubernur dan Wakilnya. 

Maka, perhitungan biayanya sebagai berikut, 30 ribu orang dikalikan dengan Rp500 ribu, didapat totalnya sebesar Rp15 miliar. 

Biaya kampanye, dengan asumsi meraih menang sebesar tiga juta suara, maka biaya kampanye untuk satu suara, di mana di dalam komponen biaya ini nantinya ada iklan, spanduk, brosur, stiker, transportasi, hiburan, tenda, kursi, pengamanan, makan dan minum serta kaos. Maka, saya perkirakan satu suara sebesar Rp100 ribu. Diambil 30 persen dari tiga juta suara saja, maka didapatkan satu juta suara itu kita kalikan Rp100 ribu, menjadi totalnya sebesar Rp100 miliar. 

Kelima, biaya saksi. Kebiasaan umumnya bagi pasangan calon Gubernur dan Wakilnya, di luar kader partai politik pendukung, mereka ada juga membentuk tim merekrut saksi pada saat hari pemungutan suara. Saksi di luar partai, biasanya itu sebutan yang sering kita dengar. Untuk bisa menang, asumsinya memiliki saksi di luar partai sebanyak 50 ribu orang. Biaya perorangnya saat hari pemungutan suara sebesar Rp100 ribu. Totalnya Rp5 miliar. 

Akhirnya, jika kita jumlahkan perhitungan di atas diperoleh sebesar Rp147 miliar. Itulah asumsi Saya, ‘uang’ yang akan dikeluarkan oleh seorang bakal calon Gubernur provinsi Sumatera Utara. 

Teknisnya, apakah dana ini akan dibagi dua dengan Wakilnya, atau mencari donatur, atau berkoalisi dengan pasangan kepala daerah Bupati/Walikota, tulisan ini tidak membahas hal itu. 

Opini ini sederhana dan hanya mengikuti asumsi umum yang wajar-wajar terjadi dalam dinamika gonjang-ganjing politik Pilkada. Jika diteruskan dengan perkiraan kepemilikan harta kekayaan pribadi seorang bakal calon Gubernur, maka Saya pikir seorang calon harus punya harta kekayaan pribadinya sebesar dua kali dari jumlah pengeluaran tersebut di atas. 

Jika asumsinya usia calon Gubernur itu 50 tahun sampai 60 tahun dan usia kerja produktifnya saat usia 30 tahun, dalam 30 tahun kerja, dengan total 360 bulan, seorang calon Gubernur rata-rata harus punya penghasilan bersih setelah dikeluarkan biaya rumah tangga sebesar Rp500 juta. Siapakah itu orangnya? Saya, Anda, Kita atau Lainnya? (*) sumber metro24jam.com

Tidak ada komentar:
Write komentar