Senin, 23 Januari 2017

PROYEKSI SUKU SIMALUNGUN 100 TAHUN MENDATANG

Foto khusus simalungun
Tanah Simalungun adalah tanah tumpah darahku, tempat aku dilahirkan dan pertama kali darahku ditumpahkan. Tanah Simalungun adalah tempat pertama kali aku melihat sinar bulan dan matahari serta menghirup udara segar dari alam. Tanah Simalungun adalah tempat pendahuluku mencari penghidupan. Aku tidak tahu sudah berapa lama nenek moyangku menetap dan hidup berkarya di tanah Simalungun. Aku terlahir dari rahim ibu kesayanganku boru Sinaga yang kini telah tiada dan tumbuh besar di sebuah daerah perbatasan antara Kabupaten Simalungun dan Batubara. Dari Sinondang Raya ke Bandar Gunung dan berhenti di Pamatang Bandar dan dari Parapat ke Tanoh Jawa pindah ke Gajing Kahean, demikianlah rangkaian perjalanan leluhurku.

Di saat usiaku 19 tahun aku beranjak meninggalkan tanah kelahiranku menuju daerah perantauan. Dalam perjalananku, aku tidak lupa membawa silsilah keluargaku yang kutulis waktu aku masih duduk di bangku SMA. Kampung halamanku kini jauh dariku, meski ragaku jauh tetapi hati dan pikiranku selalu mengarah kepadamu. Tanah Simalungunku yang indah dan subur, kekayaan alamnya berlimpah ruah. Dari Parapat sampai Tongging yang berada di sepanjang Danau Toba adalah bagian dari tanah Simalungunku. Di kampung halamanku hawanya panas, di Pamatang Siantar hawanya sejuk, di Raya dan Parapat hawanya dingin, inilah salah satu keistimewaan tanah Simalungunku. Di Sidamanik ada kebun teh, di Raya tumbuh subur buah jeruk, di Saribu Dolog berkembang sayur mayur, dan di kampung halamanku terdapat sawit dan karet serta berbagai jenis buah-buahan mulai dari durian, kelapa, pisang, rambutan, sawo, dan manggis.

Di tanah Simalungunku terhampar luas area persawahan, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Sungguh demikian menakjubkan tanah Simalungunku, kekayaan dan keindahannya merupakan mahakarya Tuhan yang dihadiahkan kepada leluhurku. Di tanah Simalungunku dulu pernah berdiri kerajaan dan aura kedigdayaan, namun kini hanya tinggal kenangan. Peninggalannya hanya bisa menjadi saksi bisu mengiringi perubahan zaman.

Tanah Simalungunku kini sudah dipadati oleh kaum pendatang, orang Simalungun justru banyak tinggal di perantauan. Tanah leluhurnya dijual, kepemilikannya berpindah tangan. Orang simalungun pergi menjauh, orang lain datang mendekat. Budaya Simalungunku terkikis hilang akibat kurangnya kepedulian dan perhatian. Bahasa Simalungunku dulu semarak dan menjadi favorit, dulu semua orang yang datang ke tanah Simalungunku wajib menjunjung tinggi budaya dan bahasa Simalungunku. Dulu bahasa Simalungunku diminati dan menjadi kewajiban, sekarang bahasa Simalungunku justru dianggap kampungan oleh orang Simalungun yang tinggal di perkotaan. Dulu orang Simalungun sangat bangga menggunakan tutur "tulang" dan "atturang", namun kini orang Simalungun justru lebih merasa bahagia mempopulerkan panggilan "om" dan "tante".

Orang Simalungun pada zaman dahulu adalah suku yang ditakuti di tanah Batak, kata missionaris Karo J.H. Neumann. Karena memiliki kerajaan yang kuat dan ilmu magis yang tinggi. Orang Simalungun satu-satunya suku Batak yang mengenal sistem kerajaan, kata J. Tideman dan Lance Castles. Orang Simalungun pada zaman dahulu menjunjung tinggi falsafah hidup "Habonaron Do Bona", orang Simalungun yang mengingkarinya akan mendapat akibat "Hajungkaton Do Sapata". Orang Simalungun dalam kehidupan sosial juga menerapkan pepatah "Totik Mansiathon Diri Marombou Bani Simbuei" dan "Sapangambei Manoktok Hitei".

Orang Simalungun pada zaman dahulu hidup bergotong royong yang ditandai dengan tradisi "Haroan Bolon" dan "Marsialop Ari". Namun kini, orang Simalungun lebih banyak bersifat egois, ekslusif, dan bertarung secara "single fighter". Orang Simalungun kini banyak yang terbuai dengan gap antara agama dan harta. Orang Simalungun pada zaman dahulu selalu berupaya menjalin ikatan perkawinan dengan sesama orang Simalungun. Namun kini keadaannya sudah berubah, orang Simalungun sudah banyak yang kawin silang. Orang Simalungun mengenal falsafah adat "Tolu Sahundulan Lima Saodoran Waluh Sabanjaran", budaya Simalungun mengenal seni tari, seni suara, seni ukir, seni tenun, dan seni hias. Budaya Simalungun pernah mengalami zaman keemasan, dimana budaya Simalungun wajib diterapkan oleh kaum pendatang. Seni tari Simalungun terkenal dengan gerakannya yang seirama dengan bahasanya, gerakan tari Simalungun lembut dan perlahan selaras dengan orang Simalungun saat bertutur kata.

Bahasa Simalungun sejatinya adalah bahasa pemersatu di antara suku Batak, bahasa Simalungun berada di posisi pertengahan, kata ahli Bahasa Belanda Petrus Voorhoeve. Keistimewaan Bahasa Simalungun mampu mengakomodir seluruh Bahasa Batak. Namun, keistimewaan yang dimilikinya tidak banyak orang yang mengetahuinya bahkan orang Simalungun sendiri. Karena itulah orang Simalungun banyak yang tidak percaya diri menggunakan bahasanya, justru lebih tertarik menerapkan bahasa tetangganya bahkan di lingkungannya sendiri. Sungguh ironis, namun semua itu adalah fakta. Orang Simalungun banyak yang tidak menyadari tergerusnya bahasa Simalungun bukan karena orang lain, melainkan akibat kealpaan dan kelalaian orang Simalungun sendiri.

Menapak tilas masa lalu suku Simalungun termasuk suku hebat, pernah memiliki kerajaan yang kuat dan sudah mengenal sistem tatanan pemerintahan. Melirik kondisi sekarang, orang Simalungun sudah mengalami banyak perubahan, budaya dan bahasanya kian mengalami ketergerusan. Tanah Simalungun sudah diramaikan oleh kaum pendatang, kepemilikan tanah Simalungun sudah banyak berpindah tangan, orang Simalungun pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan memilih hidup di tanah perantauan.

Demikianlah kondisi kehidupan orang Simalungun saat ini, bagaimanakah dengan 100 tahun mendatang. Masihkah tanah Simalungun dimiliki orang Simalungun, akankah budaya dan bahasa Simalungun mampu bertahan. Bagaimana bila 100 tahun mendatang tanah Simalungun ternyata sudah beralih kepada kaum pendatang. Anak cucu kita akan bertanya "Ayah! Tanah orang Simalungun di mana? Kenapa kita tidak pernah pulang kampung". Sang ayah menjawab: "Dulu tanah Simalungun ada di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara, tapi tanah kita udah tidak ada lagi di sana. Sekarang kita udah jadi orang Jakarta, di sinilah tanah kita sekarang. Udah paham kan nak?". Jawab anaknya: "Udah yah!".

Simalungun adalah tanah kelahiranku. Simalungun adalah simbol budayaku.
Simalungun adalah bahasa ibuku.
Simalungun adalah aku.

Sumber : FB Masrul Purba

Tidak ada komentar:
Write komentar